Keunikan Rumah Adat Honai
Di bagian Timur Indonesia, masih banyak masyarakat yang mempertahankan tradisi dan adatnya dengan erat. Salah satunya adalah masyarakat suku Dani di Papua. Bukan hanya ritual dan cara hidupnya saja yang masih dipertahankan hingga kini, masyarakat suku Dani juga masih mempertahankan tempat tinggalnya yang khas bernama Honai.
Perlu diketahui, Honai hanya boleh ditempati oleh laki-laki dan terdapat larangan bagi perempuan memasukinya, meski masih dalam satu keluarga. Sedangkan, rumah untuk perempuan memiliki sebutan yang lain lagi, yaitu Ebe’ai yang boleh digunakan untuk tempat berhubungan suami istri jika tidak ada siapapun di dalamnya. Ebe’ai juga digunakan untuk tempat tinggal dan tempat mendidik anak perempuan.
Tentang Rumah Honai
Material bangunan rumah adat Honai memang sekilas menyerupai banyak rumah adat lainnya di berbagai tempat di Indonesia, yaitu menggunakan kayu, jerami dan ilalang. Namun demikian, arsitekturnya begitu khas dan berbeda dari rumah adat kebanyakan. Bentuk rumah adat Honai menyerupai jamur, berukuran mungil, berdinding kayu, serta beratap jerami dan ilalang.
Rumah adat Honai memiliki satu pintu berukuran kecil, sehingga untuk memasukinya harus dengan membungkukkan kepala, bahkan berdiri di dalamnya tidak bisa berdiri tegak. Hal ini karena jarak antara atap kayu dengan lantai tanah hanya sekitar 1 meter. Rumah adat Honai juga dibuat tanpa jendela. Tujuannya adalah untuk menghalau dingin dan serangan binatang buas dari luar.
Rumah Honai dibuat tanpa ruang tamu, kamar tidur, juga dapur. Ukurannya yang mungil tidak memungkinkan untuk pembagian ruangan. Hanya ada satu perapian di bagian tengah ruangan yang biasa digunakan sebagai tempat menghangatkan diri dan berkumpul. Meski ukurannya mungil, rumah ini bisa menampung banyak orang di dalamnya hingga lima sampai sepuluh orang.
Selain dijadikan tempat berkumpul atau tempat tinggal, rumah adat Honai memiliki fungsi lain, yaitu sebagai kandang babi (wamai), tempat menyimpan umbi-umbian hasil kebun, dan juga sebagai pengasapan mumi. Rumah Honai yang difungsikan sebagai tempat pengasapaan mumi berada di beberapa tempat di pedalaman Papua, di antaranya Desa Aikima dan Desa Kerulu.
Keunikan rumah adat Honai bukan hanya dari bentuk arsitektur dan fungsinya saja, melainkan juga filosofi yang terkandung di dalamnya. Rumah adat Honai memiliki nilai kesatuan dan persatuan masyarakat sesama suku, serta bentuk penghormatan pada budaya yang telah diwariskan para leluhur. Hal ini juga tergambar dari pembangunannya yang meneramkan sistem gotong royong.
Pembuatannya pun tidak sembarangan, ada aturan yang harus dipatuhi. Salah satunya adalah pintu rumah harus diposisikan bertemu dengan matahari terbit atau tenggelam. Menurut kepercayaan suku Dani, arah tersebut dapat membuat penghuni Honai bisa lebih terjaga dari bahaya yang mungkin saja terjadi secara tiba-tiba.
Selain itu, rumah Honai juga sebagai sarana pendidikan bagi anak laki-laki dan rumah Ebe’ai bagi anak perempuan. Di dalam Honai, laki-laki akan diajarkan bagaimana kelak ia harus menjadi orang yang kuat agar mampu melindungi sukunya. Sedangkan, di dalam Ebe’ai perempuan diajarkan hal-hal yang akan dihadapi saat mereka menikah.
Bisa dikatakan, rumah Honai merupakan simbol kepribadian dan harga diri masyarakat suku Dani. Sehingga, warisan budaya ini harus dijaga oleh keturunannya di kemudian hari. Di tengah modernitas ini memang kadang banyak anak muda yang melupakan budayanya sendiri yang sebenarnya begitu kaya. Karenanya, pelajari dan gali tentang budaya melalui situs website Quin Batik.